Mbah Priok & Mistisisme Berdarah

Thursday, 22 April 2010

detikNews - Jakarta - Tanjung Priok berdarah. Ini untuk kali kedua. Jika di masa Orde Baru yang melakukan 'pembantaian' adalah tentara, kini Satuan Polisi Pamongpraja (Satpol PP) yang arogan terkena getahnya. Tiga nyawa melayang. Dua kasus yang berbeda itu muaranya sama. Sama-sama dalam kemasan Suku, Agama, dan Ras (SARA). Tragedi Priok kedua memang cermin yang lalai dipakai untuk berkaca.

Begitu cepat waktu menghapus kisah. Tanjung Priok tahun 1984 masih menyisakan kenangan pahit. Amir Biki dan warga lain berkalang tanah diberondong tentara. Tak jelas berapa jiwa yang loncat dari raga. Kesaksian yang tersisa menyebut truk mengangkut jasad yang binasa.

Tragedi itu pekan kemarin kembali terulang di kawasan ini. Satpol PP melakukan penggusuran. Bukan rumah penduduk yang akan diobrak-abrik, tapi areal pemakaman. Makam keramat Mbah Priok. Seorang ulama kelahiran Palembang tahun 1727 dengan nama Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad RA. Beliau masuk Batavia tahun 1756 bersama Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad RA untuk menyebarkan agama Islam.

Sebagai layaknya makam aulia, maka makam di dekat pantai ini ramai pula didatangi peziarah. Itu untuk mengenang dan mentauladani sikapnya kala hidup, juga memanjatkan doa baginya agar selalu mendapatkan ampunan Allah. Imbas metafisisnya, tentu, untuk memperoleh imbalan sama dari Kang Murbeng Dumadi.

Makin tahun makam ini makin berkembang. Bukan hanya peziarah yang membludak, tetapi juga area makam dan seputarnya. Segala fasilitas ibadah disediakan. Prosesi masuk dan berdoa dalam makam disempurnakan. Semua itu untuk mengerem membiaknya keyakinan yang bersifat mistis patronistis yang menjadi bagian dari tradisi masyarakat kita.

Namun direm atau tidak 'makam wali' kian lama kian kinclong pamornya. Sebab di makam ini segala keluh dan resah bebas diungkap. Segala himpitan hidup dan taubat terucap jelas dan tegas. Tanpa takut dan malu mengatakan itu, karena yang teronggok di depan adalah 'perantara' yang diyakini membuka jalan menuju turunnya ijabah Gusti Allah. Tak berlebihan jika orang Jawa bilang raja memerintah di istana, dan yang di alam baka bertitah dalam astana. Astana adalah kata lain dari makam atau kuburan.

Makam memang lebih 'berkuasa' dibanding segalanya minus Allah. Sebab selain sebagai pepunden, makam juga diyakini menjadi sumber kekuatan metafisis bagi yang percaya. Itu alasan Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro (1825-1830) mengangkat senjata melawan Belanda. Dia marah ketika makam leluhurnya akan digusur untuk dijadikan jalan.

Dari paparan itu tampak bahwa keyakinan memang lebih jahat dari pembunuh dan teroris. Dia lebih nekad dari kenekadan. Tapi sebaliknya jika tahu cara menempatkan, dia lebih agung dan manusiawi ketimbang humanis dan orang suci sekalipun. Karena keyakinan itu adalah kawah candradimuka dari sikap baik dan buruk. Keyakinan itu pula yang menentukan kawan atau lawan tatkala sedang bersinggungan.

Kekuatan dan kelebihan ini tak tersadari Satpol PP. Kebiasaan melakukan 'kekerasan' seperti mendarah-daging. Maka tatkala makam yang menjadi 'pengayom' batin banyak orang itu tersiar bakal dibongkar, massa bergolak tidak terkendali. Dengan segala senjata yang dipunya mereka lawan 'para penertib' itu. Hasilnya, tiga tewas dan ratusan luka-luka.

Harus disadari, keyakinan adalah jalur menuju 'surga dan neraka' yang dipertaruhkan segalanya. Itu sintesa martir bom bunuh diri dan hara-kiri massal kelompok Ranting Daud. Juga sekte-sekte kecil timbul tenggelam di berbagai daerah dan menjadi cendawan di berbagai negara. Untuk itu dalam wilayah ini labelisasi keimanan tak perlu diucap. Itu bukan kebenaran hakiki. Bukan pula pembenar kekusyukan atau kemusyrikan.

Di lajur spiritulitas cap agama memang menjadi bias. Kendati syariatnya sama, tapi hakekatnya pastilah beda. Begitu juga dengan para peziarah yang berdatangan memenuhi areal makam habib yang populer disebut Mbah Priok itu. Komunikasi batin itu tidak bakalan nyambung kalau hanya dikomunikasikan dengan lafal harafiah.

Maka tatkala melahirkan Tabloid metafisika Posmo saya bilang pada teman-teman yang terlibat agar mendalami sejarah tiap kerajaan, sejarah agama, situs serta kepurbakalaan dan folklore yang berkembang luas, sebagai filialisasi ilmu yang disebut antropologi simbol itu. Ini agar kantor tidak dibakar jamaah, juga biar kabar dari 'langit' itu berhasil membumi. Karena metafisika tak sekadar permainan kata-kata. Tak pula fiksi yang 'dilangit-langitkan.'

Tragedi Priok memberi warning pada kita agar tidak terjebak dengan kilaunya modernisasi dan kemajuan teknologi. Semaju apapun jaman, sejenius apapun manusia, posisi ‘Pembuat Hidup’ tetap jaga di hati terdalam. Sebab Dia tak bisa dikudeta dan Dia tidak terkudeta. Malah kemajuan justru kian menempatkan posisi-Nya teramat vital sebagai tempat bersandar. Dia adalah poros terakhir saat kita melakukan solilokui dan katarsis.

*Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta

Posting Lain Yang Mungkin Ingin Anda BACA JUGA :



0 comments:

Post a Comment

BannerFans.com